Secara historis, Sejarah Pasar Modal Indonesia sudah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak zaman kolonial Belanda. Tetapi terdapat perdebatan mengenai kapan pasar modal di Indonesia pertama kali muncul. Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagaimana dikutip dalam artikel informasi sejarah dan milestone, Pasar Modal atau Bursa Efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar Modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah Kolonial atau VOC. Sementara, dalam buku yang dirilis oleh Vereeniging Voor Den Effectenhandel berjudul “Effectengids” dikatakan jika perdagangan efek di Indonesia telah berlangsung sejak 1880, selain itu perdagangan efek tersebut dilakukan bukan dari organisasi resmi sehingga catatan transaksi tidak lengkap. Pada tahun 1878 terbentuk perusahaan untuk perdagangan Komunitas dan Sekuritas, yakni Dunlop & Koff, cikal bakal PT Perdanas.
Selanjutnya, transaksi saham pada perdagangan efek pertama kali tercatat pada tahun 1892, yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan di Batavia yaitu Cultuur Maatschappij Goalpara. Dikutip dari Glints (21/04/2021) dituliskan bahwa perusahaan tersebut menjual 400 saham dengan harga 500 gulden per saham yang beredar. Empat tahun kemudian, Het Centrum juga merilis prospektus penjualan saham yang memiliki nilai hingga 105 ribu gulden dengan harga per lembar sahamnya sebesar 100 gulden. Setelah transaksi-transaksi tersebut, pemerintah Hindia Belanda, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan bursa efek di Batavia pada tahun 1912. Ketika itu bursa efek didirikan untuk kepentingan pemerintah kolonial, sebagai penguasa perdagangan di Asia. VOC membuka bursa efek juga untuk mencari modal dalam pembangunan perkebunan massal di Indonesia.
Hanya berselang dua tahun, Bursa Efek terpaksa ditutup pada tahun 1914 karena adanya Perang Dunia I. Pada tahun 1925 Bursa Efek kembali dibuka sekaligus membentuk dua bursa efek baru di Indonesia, yaitu Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Semarang. Sayangnya kabar menggembirakan ini tidak berlangsung lama karena BEI dihadapkan pada Resesi Ekonomi tahun 1929 dan pecahnya Perang Dunia II. Keadaan yang semakin memburuk membuat Bursa Efek Surabaya dan Semarang ditutup, yang diikuti juga oleh Bursa Efek Jakarta pada 10 Mei 1940. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Bursa Efek Jakarta dibuka kembali dibuka oleh Presiden Soekarno pada 3 Juni 1952. Hingga pada akhirnya keberadaan Bursa Efek kembali tidak aktif ketika ada program nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1956 sampai 1977. Operasional bursa pada waktu itu dilakukan oleh PPUE (Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek) yang beranggotakan bank negara, bank swasta dan para Pialang efek. Pada tanggal 26 September 1952 dikeluarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1952 sebagai Undang-Undang Darurat yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa.
Pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, bursa efek sudah dibuka kembali pada tahun 1977. Pembukaan bursa efek tersebut ditandai dengan adanya Emiten pertama, yaitu PT Semen Cibinong. Walaupun begitu, pasar modal saat itu tidak memperoleh tanggapan positif karena undang-undang yang berlaku saat itu banyak membatasi ruang gerak perusahaan. Hal tersebut membuat pemerintah melakukan deregulasi terkait peraturan perundang-undangan pasar modal untuk mempermudah Emiten dan juga investor pada tahun 1987. Pemerintah menggiatkan pasar modal di Indonesia dengan membuka peluang bagi investor asing dengan batas kepemilikan maksimum sebesar 49%. Pemerintah juga membentuk lembaga-lembaga baru seperti Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), reksadana, dan manajer investasi. Kebijakan-kebijakan tersebut dinilai menjadi titik awal dari positifnya pertumbuhan pasar modal di Indonesia.
Pada tahun 2007, Bursa Efek Jakarta merger dengan Bursa Efek Surabaya yang kemudian berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2011, Otoritas Jasa Keuangan juga mulai diperkenalkan. Sampai saat ini, sebanyak 701 perusahaan telah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Apabila BEI konsisten dapat mengundang Emiten baru sebanyak 25-35 selama satu tahun, maka di proyeksikan 1.000 Emiten dapat tercapai dalam enam sampai tujuh tahun ke depan. Bertambahnya jumlah Emiten tentu akan mendorong penguatan pasar modal Indonesia secara berkelanjutan. Pasar saham Indonesia akan semakin di lirik oleh banyak investor besar, bahkan tidak menutup kemungkinan perusahaan dari luar negeri ikut mencatatkan sahamnya di BEI.
Jumlah investor pasar modal setiap tahunnya juga terus mengalami peningkatan. Seperti yang dikutip dalam Laman web BEI menunjukkan bahwa sebelumnya pada 2018 jumlah investor pasar modal adalah 1,6 juta. Lalu di tahun 2019 pertumbuhan investor pasar modal mencapai 53% sehingga jumlah investor yang tercatat dalam pasar modal menjadi 2,4 juta. Pada Mei 2020, jumlah investor mencapai 2,8 juta atau telah tumbuh sebesar 13% dari akhir 2019. Angka tersebut menunjukkan bawa adanya pandemic COVID-19 tidak menurunkan jumlah investor di Indonesia.