Satu dekade terakhir Pandemi Covid-19 ini, telah mendorong inisiatif digitalisasi pada strategi Pasar Modal. Jika kita melihat kembali histori krisis keuangan yang terjadi pada 2008, bank-bank dunia berusaha menumbuhkan inovasi teknologi keuangan, keinginan untuk bereksperimen, dan gelombang start-up fintech. Pandemi juga turut mengantarkan cara hidup baru yang berorientasi digital bagi banyak orang. Maka di era paska Pandemi hal yang perlu dilakukan adalah mendorong perubahan yang nyata. Di sinilah Pasar Modal didorong untuk dapat belajar dari industri lain seperti manufaktur, ritel dan barang kemasan konsumen, yang sudah mengoptimalkan digitalisasi.
Sementara, masyarakat telah dihadapkan pada masa “ekonomi isolasi”, yang didorong oleh pandemi Covid-19, guna menggantikan ekonomi “sosial” dan “berbagi” sebelumnya. Dalam artikel yang ditulis Kumar Mehta, Ekonomi Berbagi dirancang oleh perusahaan yang berusaha mengubah cara kita hidup dan mendorong kita untuk berbagi aset kita. Itu bukan karena kebiasaan konsumen yang berubah, dan akibatnya, itu berhasil dalam beberapa kasus dan gagal pada yang lain. Ia juga turut menambahkan, jika kita memasuki Ekonomi Isolasi karena perubahan sosial memimpin, transformasi ini akan menghasilkan model bisnis yang langgeng bagi perusahaan yang berinovasi dan membangun produk dan layanan untuk memungkinkan transformasi gaya hidup kita.
Ekonomi Isolasi didasarkan pada prinsip bahwa orang akan melakukan perjalanan lebih sedikit untuk menyelesaikan aktivitas sehari-hari. Sebaliknya, mereka akan dapat menyelesaikannya sama efektifnya dari rumah mereka. Misalnya saja pergi ke kantor digantikan dengan bekerja dari rumah. Pergi ke gym digantikan oleh streaming kebugaran karena lonjakan penjualan Peloton dan inovasi seperti Mirror menjadi mode, sekolah dan universitas telah mendorong lebih banyak pembelajaran online. Banyak perubahan gaya hidup yang telah dilakukan sekarang akan menjadi permanen. Akibatnya, Ekonomi Isolasi mengubah struktur lanskap bisnis, lanskap sosial, cara berinteraksi, berkolaborasi, menciptakan nilai, mengatur waktu, dan mengelola hubungan.
Perpaduan keterlibatan offline dan daring adalah cara terbaik bagi dunia pasar modal untuk tetap bisa berinovasi secara nyata dalam upaya bertahan. Hal ini juga selaras dengan Pandangan yang diungkapkan oleh Mohit Joshi dalam artikel yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia untuk mempertahankan prestise dan hubungan penting mereka dengan masyarakat, model perbankan cabang harus diubah sepenuhnya di era paska pandemi. Menurutnya bank harus keluar dari model cabang tradisional dan fokus pada bagaimana memberikan interaksi fisik dan pengalaman yang spesifik dan bernilai tinggi yang dapat melengkapi inti perbankan digital. Sebagai pelengkap sejati, teknologi digital juga harus digunakan untuk menambah pengalaman fisik dan membuat layanan lebih cepat, lebih aman, dan lebih nyaman. Ini adalah inti dari strategi physics digital.
Bagaimana dengan dunia Pasar Modal di Indonesia?
Pengembangan digitalisasi untuk Pasar Modal di Indonesia bisa dijumpai pada beberapa lembaga dibidang Pasar Modal, seperti yang dilakukan oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) selaku Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. KSEI dalam rangka mendukung peningkatan jumlah investor. Terlihat data demografi investor yang diterbitkannya semakin didominasi oleh investor milenial dengan jumlah total 73,83% investor berusia di bawah 30 tahun sampai dengan 40 tahun. Direktur KSEI Supranoto Prajogo menyampaikan bahwa berdasarkan data yang tercatat di KSEI per tanggal 30 November 2020, investor pasar modal didominasi oleh 61,11% laki-laki, 50,24% usia di bawah 30 tahun, 53,69% pegawai swasta, 44,09% lulusan sarjana, 58,16% berpenghasilan 10-100 juta/tahun dan 72,12% berdomisili di pulau Jawa.
Supranoto juga mengatakan, 52,09% Single Investor Identification (SID) melakukan pembukaan rekening melalui Selling Agent Fintech (Financial Technology). Sehingga, platform digital memang menjadi sarana yang banyak dimanfaatkan oleh investor untuk berinvestasi pasar modal.
Sementara, Lembaga Uji Sertifikasi Kompetensi dan Pelatihan dibidang Pasar Modal juga turut berevolusi dalam penyelenggaraan secara digitalisasi atau dilakukan secara daring. Salah satunya adalah penyelenggaraan online training untuk para karyawan maupun calon pekerja yang ingin mengikuti pelatihan pada bidang profesi di perbankan, analis, dan lainnya.
Online training menjadi solusi ditengah Pandemi yang memaksa perusahaan, dan masyarakat dihadapkan pada pengurangan aktifitas secara langsung. Dengan adanya online training tentunya perusahaan dapat dengan mudah menyelenggarakan berbagai pelatihan yang akan diberikan kepada peserta. Selain itu, peserta juga dapat mengakses aplikasi yang disediakan perusahaan, seperti penggunaan platform aplikasi zoom maupun lainnya. Sehingga tidak heran jika metode seperti ini diminati dan dinilai mampu menunjang proses pembelajaran.
Karenanya banyak perusahaan mengubah program training dan pelatihan menjadi online. Seperti halnya TAP Kapital Indonesia yang menyediakan berbagai pelatihan online berkualitas pada beberapa bidang profesi, yang diantaranya adalah Investment Banking, Risk Management, Equity Sales, dan lainnya. Direktur TAP Kapital Indonesia Deden Wahyudiyanto turut menyampaikan bahwa tren digitalisasi tidak bisa dilawan, melainkan hal yang harus dilakukan adalah program pelatihan harus mengikuti tren digitalisasi itu sendiri dan tanpa meninggalkan materi secara tepat. Maksudnya adalah kualitas materi yang disampaikan dalam online training jangan sampai turun meski metode berubah dari offline ke online.